Peran Perempuan dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Ruang Laut
oleh Umi Nurdianti
Perempuan di balik poto ID hiu paus. Sumber: Umi Nurdianti
Perjalanan sebagai aktivis perempuan mengajarkanku bahwa pemberdayaan tidak pernah bergerak dalam satu jalur tunggal. Ia lahir dari berbagai ruang dan peran, bahkan dari tempat-tempat yang awalnya tidak pernah terbayangkan seperti laut.
Kita sering kali membahas mengenai apa yang ideal tentang perempuan, seolah setiap perempuan lahir dengan membawa identitas yang sama. Kita lupa bahwa setiap manusia punya pengalaman, irisan, dan pengetahuan yang berbeda-beda, atau yang biasa disebut sebagai interseksionalitas. Dengan membentuk satu standar yang layak di jadikan acuan tentang perempuan berdaya, kita mengembalikan perempuan ke dalam kotak-kotak yang tidak memberdayakan dan membatasi. Kotak apa pun, seindah apa pun, jika itu tidak sesuai dengan potensi dan aspek diri perempuan secara individu tetap mengecilkan ruang gerak perempuan untuk berkembang.
Perempuan tidak perlu diarahkan pada satu bentuk “peran terbaik”. Yang lebih penting adalah memberi ruang dan dukungan agar mereka menemukan big picture bagi dirinya sendiri. Idealisme yang sekarang mendominasi perempuan adalah hasil kesepakatan kelompok-kelompok dominan: laki-laki, institusi yang berkuasa, dan budaya mayoritas. Maka idealisme itu tidak bisa kita lihat secara netral—ia membawa kepentingan, harapan, dan bias yang sering tidak kita sadari. Karena itu, perempuan harus terus menyesuaikan diri terhadap sesuatu yang tidak mereka rancang sendiri. Pengakuan atas rasa “ideal” seharusnya lahir dari refleksi diri dan validasi atas potensi yang mereka rasakan, bukan dari label atau ekspektasi yang dilekatkan orang lain. Dengan begitu, idealisme menjadi ruang tumbuh, bukan ruang sempit.
“Dengan membentuk satu standar yang layak di jadikan acuan tentang perempuan berdaya, kita mengembalikan perempuan ke dalam kotak-kotak yang tidak memberdayakan dan membatasi. Kotak apa pun, seindah apa pun, jika itu tidak sesuai dengan potensi dan aspek diri perempuan secara individu tetap mengecilkan ruang gerak perempuan untuk berkembang. ”
Perpindahanku dari isu sosial ke isu lingkungan membuatku melihat lebih dekat hubungan perempuan dengan laut, sebuah hubungan yang sering luput dari pembahasan formal maupun narasi publik, padahal di sanalah tampak jelas bagaimana idealisme dan potensi perempuan bekerja secara nyata. Ruang maritim di banyak budaya kerap dianggap sebagai ruang male-dominated. Ini terjadi bukan karena kemampuan biologis, tetapi karena konstruksi sosial yang telah lama dipertahankan: laut dibayangkan sebagai ruang keras, berbahaya, dan membutuhkan kekuatan fisik yang diasosiasikan dengan laki-laki. Persepsi ini menciptakan batas sosial yang membuat perempuan seolah “kurang cocok” berada di ruang laut. Padahal fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya bahwa perempuan mampu, hadir, dan memiliki peran penting yang tidak kalah signifikan.
Perempuan dan Laut dalam Struktur Sosial Tradisional
Meskipun laut sering dibayangkan sebagai ruang maskulin, kenyataannya perempuan telah lama menjadi bagian dari denyut kehidupan pesisir. Secara tradisional perempuan telah terlibat dalam berbagai aspek kehidupan ekologis maupun ekonomis yang membentuk keberlanjutan wilayah pesisir. Perempuan sebenarnya memegang peran penting: mereka mengolah hasil laut, melakukan penangkapan skala kecil, menjaga ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang, serta tidak jarang juga bisa berperan menjadi penyampai pengetahuan lokal terkait cuaca, musim, dan pola laut. Karena itu, melibatkan perempuan dalam konservasi bukan sekadar langkah inklusif tetapi langkah kunci menuju keberhasilan konservasi itu sendiri. Pengetahuan lokal, kedekatan emosional dengan laut, serta pengalaman turun-temurun yang mereka miliki menjadikan perempuan sebagai mitra strategis dalam menjaga ekosistem.
Melalui data global kita dapat meninjau bahwa terdapat sekitar 24% pekerja perempuan di sektor perikanan, dan bila kita melihat rantai nilai secara utuh, terutama pada pasca-tangkap, pengolahan, dan perdagangan, proporsi perempuan bisa mencapai 40–50%. Lalu menurut laporan WRI Indonesia, 3 Reasons Why Women in Fisheries Matter for an Inclusive Economic Recovery, perempuan di Indonesia diperkirakan mencakup sekitar 42% dari orang yang terlibat dalam sektor perikanan. Namun, sebagian besar kontribusi ini tidak tercatat secara resmi karena banyak perempuan bekerja di wilayah yang dianggap “informal”, seperti pengolahan, pemasaran, atau pekerjaan pendukung lainnya. Data ini menunjukkan peran besar perempuan dalam menjaga keberlanjutan perikanan, meski kontribusi mereka sering tidak terlihat.
Di komunitas pesisir di sekitar Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa, kenyataan itu terlihat jelas. Perempuan mengolah hasil laut, menjemur ikan, menanam rumput laut, sampai menjaga ketahanan ekonomi keluarga. Keterlibatan mereka tidak berhenti pada ranah domestik atau ekonomi saja. Di banyak titik pesisir, perempuan juga hadir di ruang konservasi—ruang yang selama ini dianggap lebih “teknis” atau “ilmiah— dan justru menjadi bagian penting dalam memahami ekosistem laut.
Beberapa dari mereka menyelam untuk memantau kesehatan terumbu karang, mendata populasi hiu paus, terlibat dalam pemantauan kondisi ekosistem pesisir padang lamun, hingga meneliti dinamika hutan mangrove yang tentunya menjadi peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan membawa kertas data (data sheet) bawah air, kamera, alat pengukur, perempuan berperan sebagai pengumpul informasi yang bekerja di antara arus, dibawah terik matahari, dan keheningan laut. Pekerjaan-pekerjaan ini bukan hanya teknis, tetapi membutuhkan kedisiplinan, ketelitian, intuisi, dan hubungan emosi yang dalam dengan laut.
Peran perempuan dalam konservasi menunjukkan bahwa akses mereka ke laut tidak terbatasi oleh konstruksi patriarki tentang “siapa yang lebih kuat” atau “siapa yang lebih berhak berada di perairan terbuka.” Karena laut tidak pernah bertanya tentang gender siapa pun. Laut hanya menanyai komitmen, ketelitian, dan empati terhadap kehidupan yang ada di dalamnya.
Keterlibatan perempuan di ruang konservasi juga mengubah cara kita memahami laut. Bagi perempuan, laut bukan medan yang harus ditaklukkan, tetapi ruang belajar dan ruang relasi. Relasi antara manusia dan alam yang dikerjakan melalui keheningan, pengamatan, dan perawatan yang berkelanjutan. Di tangan perempuan, konservasi sering bergerak lebih tenang namun lebih konsisten, mengalir melalui kegiatan komunitas, penelitian lapangan, hingga pendidikan lingkungan.
Mengapa Akses Perempuan ke Laut Penting?
Perlindungan dan keberlanjutan tidak pernah benar-benar bisa dilakukan sendiri; kita membutuhkan kekuatan kolektif yang tidak hanya hadir dari sosok-sosok yang dianggap tangguh. Partisipasi sekecil apa pun bentuk atau pengaruhnya tetaplah kontribusi, karena hal-hal besar lahir dari tindakan kecil yang dilakukan terus menerus dan secara bersama-sama.
Dengan melibatkan perempuan, kita membuka ruang bagi perspektif, pengalaman, dan cara kelola yang sering kali berbeda namun saling melengkapi. Memberikan akses bagi perempuan juga membawa manfaat yang jelas, baik bagi mereka sendiri maupun bagi komunitas. Bagi perempuan, keterlibatan ini membuka peluang untuk meningkatkan pendapatan, memperkuat kemandirian ekonomi, serta memperoleh keterampilan teknis mulai dari pengolahan hasil laut hingga pemantauan ekosistem.
Di tingkat komunitas, partisipasi perempuan membuat ekonomi rumah tangga lebih stabil dan keputusan terkait pesisir menjadi lebih berimbang. Sementara itu, bagi pengelolaan laut secara umum, hadirnya perempuan berarti pengumpulan informasi dan data yang lebih otentik, praktik pemanfaatan yang lebih hati-hati, serta konservasi yang lebih efektif karena melibatkan seluruh kelompok yang hidup dan bergantung pada laut. Dengan kata lain, memperluas ruang bagi perempuan bukan hanya soal keadilan, tetapi juga kebijakan strategis untuk menjaga keberlanjutan pesisir dan laut itu sendiri.
Pada akhirnya, konsep perempuan ideal tidak ditentukan oleh satu jenis peran atau pekerjaan tertentu. Keterlibatan perempuan di laut baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatan secara berkelanjutan bukan hanya kebutuhan ekologis, tetapi juga ruang bagi perempuan untuk menunjukkan kapasitas, pengetahuan, dan kontribusi yang selama ini bekerja tanpa banyak sorotan. Sudah saatnya peran tersebut diakui dan diapresiasi, karena keberlanjutan laut tidak pernah lahir dari satu kelompok saja, melainkan dari semua tangan yang menjaganya.