Darurat Seblak!: Politik Tubuh Pedas, Performativitas Digital, dan Ruang Keintiman Vernakular Perempuan
Seblak Emergency!: Body Politics of the Spicy, Digital Performativity and Women’s Space of Vernacular Intimacies
oleh Dyah Nindyasari
Belum lama setelah wacana publik digital ramai menyuarakan peringatan tentang “darurat seblak”, dokter yang sama mengunggah video lain di akun TikTok pribadinya (@dr_mariska_haris) yang telah ditonton 8 juta kali pada Oktober 2025. Kali ini dokter tersebut bercerita tengah menangani pasien yang ia bingkai menderita “overdosis seblak”.
Ungkapan sensasional ini menyebar luas di media sosial dan menjadi berbagai headline berita, hingga menyerupai krisis kesehatan berskala nasional. Di pusat kepanikan ini terdapat semangkuk seblak, hidangan yang diyakini berasal dari Bandung dan Garut, terdiri dari kerupuk rebus yang lembek dalam kuah pedas berwarna merah mencolok. Kini, seblak dikaitkan dengan stunting pada remaja dan penurunan kesehatan jangka panjang akibat nilai gizinya yang rendah.
Sebelum menjadi isu hangat tersebut, seblak memang sudah sering dilihat sebelah mata, sebagai makanan “sampah”, yang datang dari penggunaan bahan olahan berlebihan yang murah seperti kerupuk pabrikan dan mie instan. Namun di balik kritik tersebut, kita mendapati dinamika yang lebih dalam: seblak bukan sekadar makanan yang “netral”, melainkan ruang yang sarat makna gender, baik dalam konsumsi maupun representasinya. Seblak dibuat, dijual, dikonsumsi, diekspresikan dan dipopulerkan oleh perempuan, terutama perempuan muda. Melihat seblak sebatas jajanan murahan berarti menghiraukan budaya afektif sehari-hari yang tumbuh dari kenikmatan dan keberadaan publik (digital) perempuan (muda).
Seblak juga bersinggungan dengan fenomena “girl food” atau “girl dinner” sebagai tren TikTok. Girl dinner adalah hidangan-hidangan yang dikurasi untuk dibagikan secara digital, sering kali didorong oleh pendekatan afektif, dan dibuat untuk memanjakan diri, seperti comfort food yang “quirky”. Lalu, mereka dibingkai sebagai sesuatu yang tidak serius, lucu dan penuh kesadaran diri.
Di balik kejenakaannya, ada tema-tema gender di mana pilihan makanan menjadi solidaritas dan identitas yang performatif. Seblak pun mempunyai peran di luar layar, ia menempati ruang-ruang kota yang hidup, informal dan dikelola perempuan. Deretan wadah plastik berisi aneka topping beku tersusun dalam gaya prasmanan di warung-warung menjadi simbol sosial, ruang negosiasi rasa, sekaligus ruang keintiman yang vernakular. Dan kalau kamu seorang pemain berpengalaman, kamu akan merayap melalui gang-gang padat, atau blusukan, untuk menemukan hidden gem dengan bumbu yang paling ‘medok’ dari cita rasa junk food ini.
Gambar 1. TikTok @reonzie2
Dalam lanskap digital, meme seputar seblak umumnya tidak jauh dari representasinya sebagai makanan yang “irasional”. Baik dalam momen kebersamaan dengan bestie (teman dekat) maupun pasangan, pengalaman mengkonsumsi seblak menekankan pencarian sensasi kepedasan yang ekstrem, meskipun disadari sepenuhnya sensasi tersebut membawa konsekuensi yang tidak menyenangkan. Dari sakit perut, keringatan berlebihan, sampai mual, ketidaknyamanan itu seperti menjadi esensi dari daya tarik seblak.
Lalu, apa paradoks ini dapat dijelaskan hanya karena perempuan memang lebih tahan sensasi pedas? Ternyata 7 dari 8 studi tentang perbedaan dalam konsumsi, preferensi dan sensitivitas makanan pedas menemukan bahwa laki-laki mempunyai preferensi yang lebih tinggi dari perempuan, dan bahkan, perempuan merasakan intensitas kepedasan tersebut dengan lebih tinggi. Walaupun begitu, dalam studi yang sama menemukan perempuan mendapati lebih banyak kenikmatan saat kepedasan ditingkatkan. Maka, kesenangan atau preferensi terhadap rasa pedas tidak dapat dipahami sebagai cerminan langsung dari kemampuan tubuh merespons sensasi pedas tersebut.
Gambar 2. TikTok @vitaqua99
Kita mungkin dapat berangkat dari kerangka teoritis performativitas gender dari Judith Butler, yang melihat gender bukan sebagai hakikat yang stabil, tetapi dikonstruksi dan direproduksi ulang melalui gestur, perbuatan, dan wacana yang terletak dalam sejarah, mendahului seorang individu. Dalam pandangannya, gender dipahami melalui ketentuan yang bekerja dalam wacana hegemonik, yaitu gender terbentuk dari batasan dan larangan yang dikonstruksi norma sosial yang heteronormatif.
Namun, pandangan ini juga kerap dinilai membatasi. Seperti Claire Colebrook, Lois McNay, dan Niels van Doorn, yang juga mendalami agensi perempuan, berpikir bahwa penjelasan tersebut terlalu menitikberatkan kepada produksi makna yang tercipta melalui bahasa dan diskursus saja. Mereka lebih meyakini gender sebagai relasi sosial yang dijalani dan terus-menerus dinegosiasikan (lived social relations). Van Doorn, terutama, memperluas gagasan tersebut ke dalam ruang digital, di mana teknologi media baru membentuk lanskap kultural tersendiri yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk performativitas baru. Perspektif ini menjadi relevan untuk melihat fenomena konsumsi seblak, yang diasosiasikan dengan irasionalitas dan tidak sesuai dengan konvensi feminitas yang santun, misalnya makan sampai berkeringat dan ingusan.
Dalam ruang digital, hal tersebut diklaim penuh oleh perempuan dan bahkan diterima oleh laki-laki sebagai ekspresi autentik yang melampaui sesuatu yang rasional. Bagaimana gender “dilakukan” tidak berhenti pada larangan, tapi juga bagaimana aturan baru dapat dikonstruksikan dalam “naskah” yang kemudian “disetujui” semua pihak.
“Ruang seblak menjadi ruang pertemuan yang lebih interseksional, menghubungkan perempuan dari berbagai latar usia, sosial, dan pekerjaan.”
Pada negosiasi tersebut, seblak sebagai sesuatu yang indulgent atau semata-mata dikonsumsi untuk memanjakan hasrat, justru menjadi ruang afektif di mana perempuan dapat mengklaim otonomi untuk mengekspresikan hasratnya tanpa penghakiman. Hal tersebut juga menghasilkan tindakan ketangguhan yang di dalamnya terdapat agensi baru. Perempuan mungkin merasakan intensitas pedas yang lebih tinggi, tetapi menjadi bukti ketangguhan dari menahan, dan bahkan, menikmati rasa tersebut. Di sini, perempuan menegosiasikan ulang makna tubuh, rasa sakit, dan kenikmatan.
Namun, juga patut dipertanyakan mengapa perempuan perlu menahan rasa sakit dan menunjukan tindakan yang tidak sesuai dengan konvensi feminitas untuk memperlihatkan ketangguhan?
Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep yang diajukan oleh Angela McRobbie dalam buku The Aftermath of Feminism: Gender, Culture and Social Change, yaitu gender melancholia pada konteks pasca feminis. Kembali mereferensikan Butler, McRobbie menyoroti bagaimana perempuan muda digambarkan sebagai sosok yang berdaya dan bebas, tetapi kebebasan tersebut sebenarnya tetap dibatasi oleh budaya konsumerisme dan norma-norma heteronormatif. Gender melancholia mengacu pada kelelahan yang terinternalisasi akibat pengalaman menjalani feminitas di tengah tuntutan yang saling bertentangan. Dalam kondisi ini, bentuk-bentuk penderitaan dan ketidaknyamanan, terutama yang disebabkan diri sendiri, justru dianggap sebagai bagian yang wajar dari menjadi feminin. Dan lagi-lagi, dalam fenomena seblak, perempuan diasosiasikan dengan perilaku konsumsinya. Jadi, apakah setiap bentuk ‘otonomi’ yang kita lihat sebenarnya masih berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh norma heteronormatif?
Amy Shields Dobson berpendapat, berhadapan dengan gender melancholia di era digital, perempuan menavigasikan tubuh dan representasi mereka melalui “performative shamelessness”, atau ketidakmaluan yang performatif. Sementara McRobbie mengatakan kalau shamelessness ini termanifestasikan dalam pertunjukan penderitaan, Dobson melihat shamelessness juga bisa dalam bentuk yang afirmatif dan “celebratory”. Dalam konten-konten seblak, misalnya, kita dapat melihat kedua “ketidakmaluan” itu berdampingan. Biasanya level pedas tertinggi akan dipilih, dan merupakan bentuk tindakan berisiko yang dilakukan secara sadar, sebagai ketahanan yang ‘performatif’ ataupun visualisasi yang menarik partisipasi digital dan dikomodifikasi.
Secara umum, hubungan antara afek, politik tubuh, dan ruang digital dapat dipahami melalui dua dimensi utama: (1) sebagai proses yang menghasilkan nilai ekonomi, dan (2) sebagai medan yang dibentuk oleh sensasi, keintiman, dan intensitas. Afek (affect) di sini bukanlah emosi personal belaka, tetapi dimengerti sebagai sesuatu yang relasional, transformatif dan membentuk hubungan sosial dan politik. Pada puncak rasa pedas, kamera biasanya mengambil close-up untuk menangkap ekspresi tubuh yang intens, seperti keringat, mata memerah, dan bibir yang berlumur bumbu merah. Hal ini menegaskan dimensi afektif dari shamelessness sebagai performativitas. Secara bersamaan, tidak hanya memvisualisasikan ketidakmaluan dalam rasa sakit, kita juga dapat melihat keterlibatan digital bersifat afirmatif dan bagaimana afek bekerja di dalamnya. Dalam konteks ini, logika untuk menarik lebih banyak penonton berjalan seiring dengan logika sensasi pedas, yaitu sebuah pengalaman universal yang ingin dirasakan, dibagikan, dan dikenali bersama. Ini berlaku sebagai semacam jembatan afektif yang menghubungkan tubuh perempuan, yang tampil di layar dan yang menonton, lalu menghasilkan kepenontonan yang menubuh (embodied spectatorship). Karena selain emosional, tubuh penonton juga ikut tergugah secara material, contohnya mulut yang berliur seperti mereka juga merasakan pedas yang sama. Alhasil, seblak menjadi medium empati dan kebersamaan kecil yang hadir dalam ruang digital.
Perilaku konsumsi seblak tidak hanya soal pilihan pribadi, tetapi juga berperan dalam membangun ruang publik bagi perempuan untuk hadir dan menciptakan bahasa keintiman yang vernakular. Selebihnya lagi, seblak juga berfungsi untuk membentuk ruang pertemuan dan kebersamaan di tengah keterbatasan ruang dalam konteks urban. Memang terkadang melihat ruang dalam dikotomi tegas seperti perempuan/laki-laki menjadi kurang relevan. Namun, tetap menarik untuk melihat bagaimana secara organik konsumsi seblak menjelma menjadi ruang yang sangat terlokalisasi untuk perempuan. Tidak dirancang secara formal, tetapi tumbuh dari kebutuhan dan praktik keseharian. Fenomena ini beresonansi dengan “lived placemaking”, praktik kolektif warga dengan rutinitasnya dalam membentuk ruang mereka sendiri. Melalui “strategi” tersebut, warga, terutama perempuan yang tidak memiliki kekuasaan “formal”, dapat menciptakan rasa belonging, atau menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna.
Seringkali, warung seblak juga mempunyai fungsi ganda, yaitu rumah bagi si pemilik. Hal ini meleburkan batasan publik dan privat/domestik, yang juga mencerminkan karakter ekonomi informal yang identik dengan ruang urban seperti Jakarta. Yang juga penting untuk dilihat, seblak tidak bersifat eksklusif secara demografis, berbeda dari perkumpulan yang diperuntukkan untuk umur atau agama tertentu, seperti arisan atau pengajian.
Ruang seblak menjadi ruang pertemuan yang lebih interseksional, menghubungkan perempuan dari berbagai latar usia, sosial, dan pekerjaan. Setiap dari mereka juga menghubungkan ruang tersebut dengan makna dan fungsi masing-masing: dari ruang rekreasi dan afeksi, kerja dan ekonomi informal, sampai terdapatnya proses konstruksi identitas.
Dengan demikian, bagaimana gender “dilakukan” memang lebih tepat dimengerti dalam negosiasi yang terus menerus, bukan sebagai struktur yang statis. Tidak sepenuhnya adil jika perilaku konsumsi seblak dilihat hanya sebagai bagian dari reproduksi norma hegemoni. Karena, ruang-ruang informal seperti ini, baik yang hadir secara digital maupun di kampung kota juga dapat dibaca sebagai counterpublics, yaitu ruang alternatif di mana perempuan menegosiasikan posisi mereka, kali ini dalam solidaritas, mikropolitik, dan ekspresi lokal.
Maka, kalau kamu ingin menemukan komunitas perempuan yang cair dan inklusif, barangkali carilah warung seblak terdekat.