Kemarahan Ini Membebaskan: Refleksi Aksi 29 Agustus 2025 di Senayan
oleh Fia
Belum lama berlalu sejak tulisan terakhirku yang menyinggung soal arogansi pejabat publik dan dampaknya terhadap kehidupan perempuan, ternyata beberapa hari ini muncul gelombang amarah publik tentang hal yang sama. Di tulisanku sebelumnya, aku menyatakan perasaan pesimis, akankah masyarakat Indonesia bisa serentak menunjukkan protes terhadap pejabat pubik yang angkuh dan buta sosial?
Sampai saat ini pun aku kerap mempertanyakan, mengapa gerakan ini begitu lamban. Mengapa semua orang masih terlihat baik-baik saja, mengapa semua orang tidak merasakan amarah yang aku rasakan dan mengapa-mengapa lainnya yang tak kunjung mendapat jawaban hingga 29 Agustus 2025?
Aku menyaksikan semua orang sudah berani bersuara, meski hanya me-repost postingan Instagram. Meskipun masih ada beberapa yang memilih diam, setidaknya aku sudah lebih banyak melihat keberanian hari ini.
Untuk pertama kalinya aku turun sebagai tim medis bersama Jaringan Nakes Indonesia saat aksi tanggal 29 Agustus. Aksi tersebut dipicu oleh rasa solidaritas antar sesama dan duka yang mendalam atas meninggalnya Affan Kurniawan. Mereka menuntut polisi untuk bertanggung jawab atas kematian teman seperjuangan mereka. Di luar dari kericuhan aksi yang disebabkan penyusup dan provokator, aku melihat bahwa aksi kali ini tidak dipenuhi orasi-orasi yang klasik dan template, hanya murni emosi dan kemarahan kolektif terhadap pembunuh berseragam coklat itu.
Pengalaman turun aksi sebagai tim medis membawaku ke dalam proses refleksi yang sangat dalam. Represi yang dilakukan aparat terhadap tim medis nyata adanya sampai aku mengalaminya sendiri. Aku adalah korban penembakan peluru karet yang disinyalir ditembakkan oleh preman-preman penyusup bayaran si coklat.
Kejadiannya cepat sekali. Barangkali, memang sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap ada aksi, selalu ada hujan buatan yang sudah terlokalisasi di titik-titik aksi. Saat kami diguyur hujan besar di Polda Metro Jaya, beberapa menit setelah itu, lampu jalanan di flyover Semanggi dimatikan lalu peluru-peluru karet itu ditembakkan bersamaan dengan gas air mata yang membuat mata perih dan dadaku begitu sesak.
Tidak sampai pada logikaku untuk memahami bagaimana aparat dan pejabat lebih memilih jalan kekerasan dan manipulasi untuk menghadapi rakyat alih-alih berdialog dengan tenang dan mendengarkan apa yang menjadi keinginan mereka. Lebih daripada itu, aku juga tahu bahwa mereka hanya dijadikan alat negara untuk membungkus sandiwara politik elit dan membuat rakyat ketakutan. Aku masih memproses bagaimana semua ini terjadi dalam waktu yang begitu cepat. Sementara, sebagai orang yang tergabung dalam organisasi dan jaringan, aku perlu langsung belajar membaca situasi. Sejujurnya, ini semua sangat melelahkan.
“Pendidikan yang lahir dari jalanan terasa lebih radikal dan membumi. Tidak ada aroma elit akademisi yang hanya peduli soal rating Scopus dan H-Index. Pendidikan yang diakomodasi dari rakyat dan untuk rakyat.”
Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire sudah menjelaskan bahwa kaum penindas itu tidak lain adalah sekumpulan orang-orang yang takut akan kebangkitan kesadaran orang-orang yang mereka tindas. Ya, mereka takut kalau masyarakat sudah kritis dan sadar maka tidak ada cara lain lagi untuk membuat mereka semakin kaya dan hidup enak di menara gading.
Analisa Freire soal para penindas ini valid ketika aku mengamati apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini dan memahami siklusnya. Aksi massa akan selalu dibuat ricuh oleh para penyusup dan provokator dari kelompok aparat itu sendiri melalui perusakan fasilitas umum, dibuat skenario sipil berkelahi sesama sipil. Supaya kita lupa dengan masalah sesungguhnya, yaitu memerangi DPR yang rakus seperti tikus.
Di perjalanan pulang pasca aksi, aku merenungi apa kata Freire soal pendidikan politik yang harus dibangun dalam ruang-ruang non-formal dan egaliter. Berbasis kerakyatan, tidak ada relasi guru-murid, hanya orang-orang yang ingin berkumpul dan menjalankan tugas-tugas kependidikan: penyadaran kritis untuk semua tanpa terkecuali.
Aku tersadar pula, terbentuknya gerakan dan aksi massa organik dilahirkan dari semangat juang dan kesadaran akan ketertindasan. Tidak dibangun dalam bangunan sekolah atau universitas yang dilengkapi kursi empuk dan ruangan ber-AC. Pendidikan yang lahir dari jalanan terasa lebih radikal dan membumi. Tidak ada aroma elit akademisi yang hanya peduli soal rating Scopus dan H-Index. Pendidikan yang diakomodasi dari rakyat dan untuk rakyat.
Menurutku, kesadaran akan ketertindasan ini memang harus digaungkan secara masif. Harus lebih banyak orang lagi yang marah terhadap pejabat publik yang songong lagi takut untuk berhadapan dengan masyarakat sipil. Dengan kemajuan teknologi ini, aku rasa, dampaknya cukup besar untuk memberi penyadaran lewat aktivisme digital. Seluruh kita terhubung dalam poros kemarahan yang sama: DPR minta tunjangan dinaikkan sementara rakyat kesulitan cari kerja, anggaran Polri dan TNI melesat jauh di atas awan sementara upah layak untuk guru, dosen, dan tenaga kesehatan masih jauh dari kata layak. Parahnya lagi adalah kemarahan yang masih sama sejak Pemilu 2024—presiden kita adalah penjahat HAM tahun 1998.
Namun, di sisi lain, aku pun memahami kompleksitas pengorganisasian pendidikan kritis itu. Dalam gerakan-gerakan juga tidak kebal dari ego sektoral yang mulai muncul secara implisit. Meski tidak ada diucapkan ingin ini dan itu, tetapi memang miris saja buatku untuk menyadari, ketertindasan kelompok lain kadang kala dilihat sebagai peluang keuntungan finansial bagi sebagian orang.
Meski demikian, aku mulai memilih jalanku sendiri. Tidak karena apa-apa, apalagi memusuhi mereka yang memilih jalan berbeda dariku, tetapi supaya aku tetap bisa menyalurkan kemarahan reflektif yang secara otentik hadir karena aku merasa betapa cepatnya perkembangan kesadaranku akhir-akhir ini. Tidak hanya melalui pendidikan formal dan membaca buku, tetapi juga ketika aku melihat sendiri bagaimana lakon pemerintah-rakyat ini beroperasi dalam struktur patriarkal dan kapitalisme di dalam aksi.
Setiap kali ditanya, apakah aku mengidentifikasi diri sebagai aktivis, rasanya belum pantas juga. Karena aktivisme yang lahir dalam diriku bukanlah aktivisme performatif seperti orang-orang kebanyakan. Aku pun masih menimbang, apakah aku ingin menjadi seseorang yang keras di jalan atau seseorang yang duduk memegang jabatan akademik. Persoalan kenyamanan harus bertarung dengan fakta bahwa sampai kapanpun pendidikan kritis itu, idealnya, hanya bisa dilakukan dalam ruang dekolonial: rimpang, kasar, tidak beraturan, dan sporadis.