Andai Aku Laki-laki: Refleksi Lagu "The Man" oleh Taylor Swift
oleh Putri Rizkia
Sumber: https://pin.it/75DwaaJJY
Apa jadinya jika kita adalah laki-laki?
Pertanyaan ini menjadi dasar dari lagu “The Man”, salah satu karya paling politis dari musisi asal Amerika Serikat, Taylor Swift. Dalam lagu ini, Taylor tidak hanya menyuarakan keluhan personal, tetapi melontarkan kritik tajam terhadap cara dunia memperlakukan perempuan dan laki-laki secara tidak setara, meskipun mereka menempuh jalan yang sama dengan usaha yang serupa.
Lagu ini bagi saya pribadi terasa seperti suara yang selalu saya usahakan tersampaikan ke wajah masyarakat: menunjukkan dengan gamblang bagaimana bias gender masih menjadi penyakit paten dalam kehidupan sosial dan profesional kita.
Salah satu baris paling menggugah dalam lagu ini berbunyi, “I’m so sick of running as fast as I can, wondering if I’d get there quicker if I was a man.” Lirik ini sederhana, namun merepresentasikan bahwa sekeras apa pun seorang perempuan berlari, selalu ada kemungkinan dia kalah cepat — bukan karena tidak mampu, tapi karena sistemnya memang tidak adil sejak awal. Melihat bagaimana hal itu berusaha Taylor sampaikan, membuat saya menyadari kilas balik terhadap cara pandang orang-orang kepada perempuan.
Saya tumbuh dalam lingkungan masyarakat di daerah pedesaan yang masih kental dengan pemahaman yang mengatasnamakan adat. Mereka sangat menjunjung tinggi peran laki-laki dalam kehidupan sosial, tak luput juga orang terdekat yakni keluarga saya sendiri. Mereka masih menganut pemikiran bahwa dalam tatanan sosial, “Perempuan ketika sebelum menikah, mereka adalah orang asing di rumahnya karena suatu saat ia akan pergi untuk menikah.” Padahal, realitanya dalam pernikahan, kami pun akan tetap dianggap orang asing karena kami hanyalah orang luar yang tiba-tiba datang dan menjadi keluarga dari si laki-laki.
Lalu, di manakah tempat kami sebenarnya?
“Berapa banyak perempuan yang merasa harus bekerja dua kali lebih keras untuk diakui? Berapa banyak yang disela saat bicara, meski idenya lebih matang? Berapa banyak yang prestasinya direndahkan, atau bahkan disabotase, hanya karena dia perempuan?”
Sehingga, hal yang ingin saya soroti dari lagu ini adalah ajakan untuk kita membayangkan realitas alternatif: bagaimana jika semua prestasi — penghargaan, kekayaan, ketenaran — bukan milik seorang perempuan, tetapi laki-laki? Apakah kita akan tetap dikritik karena terlalu ambisius? Terlalu percaya diri? Terlalu mendominasi?
Jawabannya, mungkin tidak.
Karena…
Laki-laki yang ambisius dipuji sebagai visioner. Perempuan yang sama dipanggil “bossy.”
Laki-laki yang tegas dianggap pemimpin. Perempuan disebut terlalu emosional.
Laki-laki yang sukses disebut bekerja keras. Perempuan dibilang beruntung — atau lebih buruk, diasumsikan “dibantu.”
Tentu, Taylor Swift adalah selebritas yang tumbuh di lingkungan dan kultur yang relatif lebih progresif dalam menyoroti isu kesetaraan. Tapi kalau di sana saja perempuan masih harus berjuang keras untuk diakui, lalu bagaimana dengan kita yang hidup dan tumbuh dalam kultur atau budaya yang masih kuat dengan aturan tradisi dan patriarki? Hal ini yang menyebabkan perjuangan perempuan jadi terasa lebih berat, karena kita bukan hanya melawan sistem yang tidak adil, tapi juga berhadapan dengan norma-norma lama yang masih mengikat.
Melalui lagu ini, Taylor Swift seakan ingin menyampaikan kepada kita bahwa ketidakadilan yang ia suarakan tidak hanya terjadi di dunia musik. Tapi juga sebagai gambaran dari pengalaman kolektif perempuan di hampir semua bidang kehidupan: dari kantor pemerintahan hingga ruang kelas, dari ruang rapat perusahaan hingga dapur rumah tangga. Berapa banyak perempuan yang merasa harus bekerja dua kali lebih keras untuk diakui? Berapa banyak yang disela saat bicara, meski idenya lebih matang? Berapa banyak yang prestasinya direndahkan, atau bahkan disabotase, hanya karena dia perempuan?
Lagu ini sangat berarti bagi saya pribadi karena ia personal dan politis sekaligus. Ia tidak hanya sekadar menyalahkan laki-laki, tapi juga mengajak kita merenungkan struktur yang lebih luas: bagaimana norma, budaya, dan kebiasaan membentuk cara kita memersepsikan peran gender — siapa yang "pantas" memimpin, siapa yang "boleh" mendominasi, dan siapa yang seharusnya "diam dan mendukung."
Dalam banyak hal, kita memang sudah berjalan cukup jauh dalam perjuangan kesetaraan gender. Namun, lagu “The Man” ini mengingatkan bahwa perjuangan itu masih jauh dari selesai. Representasi perempuan dalam kepemimpinan masih rendah. Upah perempuan masih tertinggal. Perempuan masih lebih sering dikritik karena penampilan dibanding kontribusinya. Lagu ini bagi saya adalah bentuk perlawanan — bukan dengan teriakan, tapi dengan sindiran halus yang tajam. Melalui lagu ini Taylor mengajak kita bertanya: mengapa menjadi perempuan berarti harus terus membuktikan diri, sedangkan menjadi laki-laki berarti tinggal menikmati hak istimewa?
Di tengah derasnya arus budaya patriarki yang masih kental, “The Man” menjadi pengingat bersama bahwa menjadi perempuan dalam dunia yang belum setara tetaplah sebuah perjuangan. Dan seperti semua perjuangan, saya percaya kita membutuhkan suara-suara yang lantang, konsisten, dan terus menggugah — bahkan dari bentuk rintihan sekalipun.